存在
存在・Japanese
[son-zai]
(n.) Kehadiran
_____________________________
Temanku —May, mencolek pipiku pelan.
Saat membuka mata, kulihat Lilian berada di belakang May, tersenyum sambil
menunjuk ke arah jam mejaku yang ada di tangannya. Sudah siang ‘toh, batinku.
“Selamat siang,
wahai putri tidur. Mimpi indah?” Ledek Lilian, meletakkan kembali jamku ke
tempat asalnya.
“Boro-boro.” Jawabku
singkat. Justru sebaliknya, tambahku dalam hati.
“Ya Sudah, sana
bersih-bersih. Aku mau obrolin sesuatu sama kalian.” Kata May sambil melipat
selimutku yang berantakan. Aku mengangguk dan langsung jalan ke kamar
mandi.
Saat aku keluar
dari kamar mandi, May dan Lilian sudah menyiapkan meja beserta cemilan dan
minuman di kamarku. Sebenarnya kita mau ngobrol atau konferensi meja bundar?
—-------
“Jadi, apa yang mau
kalian obrolin?”
“Ayahku memintaku
untuk mengambilkan dokumen yang ada di rumah lamaku.” Kata May sambil
menuangkan es teh ke dalam masing-masing gelas kami.
“Lalu?”
“Kau ‘kan tahu
rumah itu sudah lama tidak berpenghuni. Jadi aku dan Lilian memutuskan untuk
mengajakmu uji nyali!” Jawab May dengan semangat. Aku hampir tersedak mendengar
idenya itu. Aku ingin heran tapi tidak bisa karena mereka berdua memang suka
sesuatu yang berbau mistis atau horor. Tapi, tak kusangka mereka benar-benar
ingin melakukannya.
Rumah lamanya dekat
dengan rumahku, hanya selisih empat rumah saja. Rumah itu sudah ditinggalkan
May selama 5 tahun karena orang tuanya sering pergi dinas kerja. Karena itu,
May memutuskan untuk tinggal bersama di rumah neneknya yang masih berada di
gang yang sama. Keluarga May memutuskan untuk tidak menjual rumah itu dengan
alasan investasi. Kelak dapat ditinggali oleh keluarganya lagi atau untuk May
saat sudah berkeluarga nanti.
"Kenapa tidak
minta tolong pembantumu saja?"
“Dokumen ini
penting, walaupun pembantuku sudah bekerja dengan keluargaku cukup lama, tetap
saja masih orang asing.”
“Kalau begitu,
pergi saja berdua dengan Lilian." Jawabku, masih mencoba untuk
menolak.
"Lebih ramai
lebih asyik 'kan?" Lilian menjawabku dengan nada meledek.
"Kenapa uji
nyali? Bukannya rumahmu itu bersih?"
“May baru saja diberitahu
pembantunya bahwa akhir-akhir ini rumah itu dihantui.” Lilian menjawab sambil
tiduran santai di karpet. Pantas saja.
"Ayolah, Ava.
Mau, ya? Please." Pinta May penuh harap, sambil menarik-narik
lengan bajuku.
"Awas aja
nolak." Ancam Lilian.
Inilah hal yang
paling kuhindari; menantang hal gaib.
Aku percaya bahwa
dunia ini bukan milik yang hidup semata. Aku pun percaya bahwa dunia ini
tumpang tindih dengan dunia paralel, dan aku percaya bahwa yang telah tiada itu
selalu ada di sekitar kita. Aku tidak mau berurusan dengan hal itu bukan karena
takut, konon katanya sang makhluk tak kasat mata itu akan menampakkan diri
kalau kita takut. Bukan, bukan karena itu. Aku hanya tidak ingin ikut campur
urusan dunia lain. Mereka pasti juga tidak mau dunianya diusik.
Belum lagi,
belakangan ini aku memimpikan hal yang sama selama lima hari berturut-turut.
Dalam mimpi itu aku selalu bertemu dengan dua orang yang sama, seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki itu berumur kisaran 40 tahun,
rambutnya berwarna coklat muda dan matanya berwarna kuning-kecoklatan.
Laki-laki itu selalu mengenakan setelan jas berwarna coklat, dasi hitam dan
kemeja berwarna abu-abu. Laki-laki itu berkumis dan berambut tipis. Di dalam
mimpiku, laki-laki itu selalu berada di sampingku dan kita terlihat akrab. Aku
merasa laki-laki itu seperti bodyguard. Satunya lagi sesosok perempuan,
dia berumur kisaran 25 tahunan. Perempuan itu berambut panjang tidak disisir,
berkulit pucat dan tinggi. Bedanya perempuan ini mempresentasikan sosok hantu,
mengenakan pakaian putih dan bisa menembus dinding.
Makin hari,
kengerian mimpiku makin menjadi-jadi. Pada hari pertama, hanya dua sosok itu
yang muncul di mimpiku. Hari kedua, sosok hantu perempuan itu mulai mengusir
beberapa makhluk —yang tak kuingat apa itu— yang hendak menghampiri rumahku.
Hari ketiga, muncul bentuk 'kehadiran' lain yang menunggu di depan kamarku. Aku
tidak tahu apa itu, yang jelas bentuk 'kehadiran' itu memiliki pancaran warna
merah di sekelilingnya. Hari keempat, bentuk ‘kehadiran’ itu menghampiri May
dan Lilian. ‘Kehadiran’ tersebut memancarkan warna merah pekat yang langsung
membuat mereka terduduk lemas lalu membinasakan mereka secara perlahan. Aku
menyaksikan sendiri bagaimana mereka terhipnotis untuk mendekati bentuk ‘kehadiran’
itu lalu tubuh mereka meleleh bagaikan lilin yang mencair. Dan hari ini, bentuk
‘kehadiran’ itu membawaku ke neraka. Padahal aku tidak tahu wujud neraka
seperti apa, yang jelas, aku membayangkan kobaran lahar yang sangat panas dan
aku jatuh ke dalamnya.
Aku tidak ingin
menganggap mimpi itu sebuah firasat. Tapi kebetulan ini terlalu relevan untuk
disebut sebagai sebuah kebetulan.
“Kau bisa dirasuki
kalau bengong terlalu lama, loh.” Kata Lilian, membuyarkan lamunanku.
Walaupun firasatku
tidak enak, aku hanya bisa menghela nafas dan mengiyakan permintaan mereka.
Mereka pintar sekali memanfaatkan kekuranganku, mana bisa aku menolak kalau
sudah begini.
Selanjutnya mereka
merencanakan apa-apa saja yang harus dibawa. Dan aku, hanya diam.
----
Hanya berdiri di
depan rumahnya saja sudah membuat firasat dan badanku tidak karuan. Aku merasa
jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya, aku merasa panas tapi kaki dan
tanganku dingin bukan main. Memang sekilas tidak menyeramkan, bersih dan
terawat seperti rumah berpenghuni. Aku tidak ingin langsung menyimpulkan,
mungkin saja ini efek tidak bisa tidur semalam. Lagi-lagi aku memimpikan sosok
yang sama, hanya saja kali ini aku hanya memimpikan sosok wanitanya saja. Dalam
mimpiku kali ini, ia hanya duduk terdiam di sampingku. Aku melirik ke arah May
dan Lilian, mereka sepertinya juga merasakan kengerian yang kurasakan. Wajah
mereka sedikit pucat dan berkeringat.
Kami memasuki rumah
itu secara berurutan; aku (sialnya mereka mau aku yang paling depan), Lilian
lalu sang empunya rumah, May. Aku ingat sekali tata letak rumah ini karena aku
dan Lilian sering sekali bermain di sini. Selain rumahnya yang paling luas
dibanding kami berdua, May memiliki banyak sekali kaset edukasi dan kartun yang
seru. Bagian depan rumah ini ada ruang tamu dan dapur, lalu memasuki pintu
menuju ke arah ruang tengah. Ruang inilah yang paling luas karena hanya ada
satu ruangan dan kamar mandi serta tangga. Di lantai atas hanya ada dua kamar
tidur.
Kami masuk menuju
ruangan yang berada di ruang tengah. Ruangan ini adalah ruang kerja milik
Ayahnya May. Lampunya masih terang menyala, lantainya bersih, jejeran buku di
dalam lemari masih terawat, tidak ada tanda-tanda seperti rumah yang sudah
ditinggalkan selama 5 tahun lamanya.
"Kau tidak
menaruh tasmu, Ava?" Tanya May, yang sudah terlebih dahulu meletakkan
tasnya di atas meja.
"Kenapa kita
tidak menaruh tas di ruangan bekas dapur saja? 'kan lebih mudah keluar kalau
ada apa-apa." Jawabku.
“Karena dapur pasti
ada ‘penghuninya’. Kau tahu, Ibuku sering bilang padaku, kalau kalian hendak
membuang air panas di wastafel harus izin terlebih dahulu. Sebabnya karena
itu.” Kata May sambil merogoh tasnya, mengeluarkan secarik kertas.
May mulai mencari
dokumen yang dimaksud oleh Ayahnya. Di saat itu, aku merasa punggungku sangat
panas. Sensasinya membakar kulit, seperti punggungku penuh dengan tempelan koyo
cabe. Pikiranku seketika langsung mengarah ke hal itu, hal ghaib. Yang benar
saja, saat kami berbalik, muncul sesosok bayi yang berdiri di ambang pintu.
Bayi itu setinggi anak sekolah dasar, putih pucat dan mengenakan pampers. Kami
semua membeku tak dapat bergerak. May dan Lilian menggenggam keras lenganku.
Bayi itu mendekat, dari perlahan-lahan hingga berlari.
“MENGHINDAR,
CEPAT!” teriakku seraya mengibaskan tanganku yang mereka genggam. Bayi itu
berlari lurus ke arah kami. Kami menghindar dan bayi itu menabrak lemari buku
dengan keras, membuatnya tertimpa tumpukan buku. Layaknya bayi manusia, sosok itu
menangis dengan suara yang sangat nyaring. Membuat suasana di sekitar kami
lebih panas daripada saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Aku
langsung menarik May dan Lilian yang masih tertegun melihat sosok bayi itu.
Dengan sigap, May langsung mengunci pintu ruangan tersebut. Sosok bayi itu
menggedor-gedor pintu sambil menangis.
Belum sempat
bernafas, muncul sesosok makhluk yang sedang menuruni tangga. Sosok itu
berwujud manusia, berbadan kurus dan sangat tinggi, badannya seperti habis
dicelupkan warna pelangi dan hanya memiliki mulut. Sosok itu melirik ke arah
kami dan tersenyum sangat lebar. Memperlihatkan jajaran gigi yang semuanya
hanya gigi taring. Lilian dan May berteriak sekencang mungkin lalu berlari
mendahuluiku. Aku pun bergegas menyusul mereka dan memfokuskan pandanganku ke
depan. Tepat setelah aku keluar dari rumah itu karena tersandung sesuatu, May
langsung mengunci pintu rumahnya. Kami semua membeku saat melihat berbagai
macam sosok —termasuk sosok pelangi tadi, mencakar-cakar kaca depan rumah.
Saat kami semua
keluar melewati pagar rumah, tiba-tiba May dan Lilian pingsan seketika. Ketika
aku hendak membangunkan mereka, muncul sesosok makhluk yang berwujud sebagai
kakek tua berdiri di tengah jalan raya depan gang perumahanku. Penampilan kakek
tua itu lebih menyeramkan dibanding makhluk-makhluk yang ada di dalam rumah
May; bermata hitam pekat, berambut panjang kusut, berkuku panjang dan berbau
sangat menyengat.
Tanpa jeda makhluk
itu berlari seperti witch dalam game Left4Dead. Aku berlari tanpa
tujuan, dan di tengah-tengah aku berlari, sosok perempuan yang ada dalam
mimpiku seketika muncul menghentikan laju kakek itu. Aku menoleh ke arahnya,
kaget bukan main.
“Cepat datangi
‘dia’ di depan rumahmu! Hanya ‘dia’ yang bisa membantumu, aku tidak bisa
menahannya lebih lama lagi!”
Sesuai perintahnya,
aku langsung berlari ke arah rumahku. Benar, sosok lelaki yang ada di dalam
mimpiku itu sedang berdiri di depan rumahku. Sosok itu langsung mendekapku
begitu kudengar kakek yang mengejarku tadi berteriak sangat kencang di
belakangku.
----
Saat aku membuka
mata, pandangan di depanku sangat asing. Aku sudah tidak lagi berada di sekitar
pekarangan rumahku. Aku tidak dapat melihat dengan jelas karena tempat yang
kupijak ini sangat berkabut. Namun yang kutangkap, aku seperti berada di dalam
hutan. Aku merasa sangat ketakutan sampai terduduk. Kakiku lemas dan bergetar,
keringat membanjiri wajahku dan aku merasa air mataku bisa jatuh kapan saja.
Aku sendirian di sini, tidak ada Lilian maupun May. Sosok perempuan dan
laki-laki yang ada di dalam mimpiku pun juga tidak ada. Telingaku berdenging
saking sunyinya tempat ini. Aku hanya meringkuk, tak lagi berani melihat
kemanapun karena kejadian tadi masih sangat jelas kuingat. Sosok-sosok yang
bermunculan tadi pun tidak mau enyah dari pikiranku.
Satu tepukan
mendarat di pundakku. Hanya dengan itu, sekujur badanku merasa sangat rileks.
Rasa takut yang sedari tadi kurasa hilang dalam sekejap. Saat aku mengadahkan
kepala, sosok laki-laki yang ada di dalam mimpiku itu berdiri di hadapanku.
Refleks aku kembali memeluknya dan dia membalasnya. Pelukan sosok ini sangat
hangat seperti manusia, aku merasa sangat aman.
“Bersembunyi di
belakangku dan tahanlah rasa takutmu sebentar.” Sosok laki-laki itu langsung
menarikku ke belakangnya (dengan sedikit kasar). Saat itu juga, sosok kakek
menyeramkan tadi lari ke arah kami. sosok laki-laki yang perempuan tadi sebut
sebagai ‘dia’ menahan kepala kakek itu dengan satu tangan. Angin berhembus
sangat kencang karena sosok kakek itu berlari sangat cepat. Kudengar ‘dia’
seperti merapalkan sesuatu lalu berteriak sekencang mungkin ke arah kakek itu.
Jasnya seketika berubah menjadi jubah hitam yang menjuntai panjang ke belakang,
menutupiku. Anehnya aku tidak merasa berisik sama sekali, bahkan aku sampai
tidak mendengar suara sama sekali.
Sosok kakek itu
lenyap menjadi abu dan terbang tertiup angin. Bersamaan dengan itu, hutan
tempat kami berada berubah menjadi suatu tempat yang aku tidak tahu bagaimana
mendeskripsikannya. Aku seperti berada di atas ranting pohon yang amat sangat
besar, di sekitar kami hanya ada kabut putih. Saat ‘dia’ berbalik, jubah
hitamnya kembali menjadi jas coklat yang tadi ia kenakan. Saat tekanan kuat
yang kurasakan tadi menghilang, aku langsung terduduk lemas.
Sosok hantu
perempuan itu kembali dan menghampiriku, membisikkanku sesuatu.
Semoga kita tidak
akan bertemu lagi.
—----------------
Aku terbangun
karena merasa wajahku disentuh seseorang. Saat kubuka mata, kulihat May dan
Lilian sudah berada di samping kasurku. Lilian menunjuk jam weker di tangannya,
menunjukkan pukul 12. Sudah siang 'toh, batinku.
Tunggu dulu. Kenapa
aku merasa dejavu?
“Hey, aku bermimpi
aneh semalam. Mimpinya terasa sangat nyata dan menyeramkan. Kalian berdua pun
ada di dalamnya.” Aku bisa ingat mimpi apa itu, tapi aku tidak ingat isi dari
mimpiku itu apa.
“Apa kau habis
nonton horor sebelum tidur?” Tanya May sambil membereskan selimutku. Walaupun
May selalu begini, tapi dia membereskan selimutku, aku merasa dia sudah
melakukannya. dejavu lagi.
“Makanya berdoa
sebelum tidur.” Timpal Lilian, meletakkan kembali jam wekerku ke tempatnya
kembali. dejavu lagi.
Aku ingin sekali
mengingat mimpi apa itu, tapi tidak kunjung kuingat.
Mungkin lebih baik
kulupakan saja.
Iya, mari lupakan.


Komentar
Posting Komentar