Rewind

2:02 AM

Now playing : 
Hasil screenshot sendiri. Akhirnya.

DUA jam yang lalu, tahun sudah berganti. Seperti tahun lalu, pergantian tahun disambut dengan hujan yang cukup deras. Lagi-lagi membatalkan rencanaku untuk merayakan pergantian tahun bersama Andon. Menyebalkan memang, tapi mau bagaimana lagi. Setidaknya aku masih bisa menghabiskan momen pergantian tahun bersama Andon meskipun lewat telepon. 

Aku mendengarkan playlist ini tepat setelah Andon memutuskan teleponnya. Selain menghindari bunyi dengung yang akan datang menyelimuti indra pendengaranku, perasaanku cukup down setelah berbincang dengannya. 

Selain statusku yang berubah dari mahasiswa menjadi pengangguran, beberapa aspek dalam hidupku ikut berubah dan berkembang. Topik pembicaraanku dengan Andon sebagian besar seperti rewind momen yang sudah lalu. Mulai dari sifat dan pola pikirku yang berangsur-angsur berubah, wajahku mulai menua, badanku melebar, kemampuanku berkembang, selera musikku berubah, caraku berpakaian mulai beragam, dan aku mulai memakai make up. Namun ada hal besar yang kusadari tak pernah berubah selain tinggi badanku: lingkup pertemanan.

Lingkup pertemananku mulai menyempit begitu duduk dibangku SMP. Pengalaman terburuk sekaligus awal dari segalanya. Saat itu, demi membela temanku yang di-bully oleh sekelompok cewek dikelas kami, aku pun ikut dimusuhi oleh mereka. Tak lama berselang, teman yang kubela itu pindah sekolah dan aku sendiri. Hampir setahun lamanya aku selalu menghabiskan waktu seorang diri selama sekolah. Aku tak menyesal karena selama masa itu, aku menemukan hobi baru yaitu menulis. Selama masa itu pula, mungkin aku berhasil menulis lebih dari lima buah cerita pendek. Aku pun tidak merengek ataupun bersedih karena tidak punya teman, rasanya saat itu aku benar-benar menikmati kesendirian. 

Melihatku sendirian, para cowok dikelas mulai mengajakku bicara. Lama kelamaan mereka dekat denganku. Mulai dari nongkrong di kantin ataupun dikelas, main game bareng bahkan salah satunya sering chatting-an denganku. Disitulah masalah lain muncul. Sekelompok cewek yang dulu memusuhiku secara tiba-tiba mendekatiku. Mereka sering mengajakku makan mie goreng bersama dikantin ataupun mengobrol dikelas. Waktu itu aku terlalu polos dan masih berpikiran sempit. Kupikir memang mereka akhirnya mengganggap keberadaanku. Namun aku salah. Lambat laun topik pembicaraan mereka mengenai cowok yang sering chatting-an denganku. Pelan-pelan mereka "mengorek" informasi yang kuketahui tentang cowok itu yang dengan polosnya aku beritahu tanpa rasa curiga sedikitpun. Setelah sekiranya mereka mendapat apa yang mereka inginkan, lagi-lagi aku ditinggal sendiri. Cowok yang dekat denganku itu pun mulai menjaga jarak dan akhirnya kami berhenti berkirim pesan.

Sampai pada saat tahun terakhirku di SMP, salah satu cewek dari sekelompok cewek dikelas lain mengajakku bergabung dengan mereka. Aku lupa bilang bahwa dulu aku masuk kedalam salah satu kelas percobaan bilingual, dan hanya terdapat dua kelas. Karena masing-masing kelas muridnya tidak sebanyak kelas biasa, para muridnya saling akrab layaknya teman sekelas (hanya dipisahkan tembok saja).

Kembali lagi, aku yang sudah tidak percaya siapapun hanya ikut saja. Mereka selalu mengajakku kemanapun mereka pergi dan mengajakku main diluar jam sekolah. Pertemanan itu berlanjut sampai aku duduk dibangku SMA.

Semoga saja aku mendapat lebih banyak teman saat di SMA nanti, itulah yang kuharapkan saat masuk sekolah. Benar saja, do'aku terkabul. Tahun pertama SMA berjalan terlalu mulus; aku punya banyak teman bahkan membentuk suatu geng, sering nongkrong bareng sepulang sekolah, cabut pelajaran bareng, intinya aku tidak pernah absen dari pikiran mereka. Lagi-lagi aku terbuai suasana tanpa kecurigaan, aku kembali dipertemukan dengan masalah yang sama. Perlahan-lahan semua teman geng-ku itu mulai menjauh karena datang murid baru dan itu cewek dan lebih gaul. Aku kembali sendiri.

Tahun terakhirku di SMA tidak begitu pahit dan tidak begitu manis. Seperti bocah SD yang memutuskan cinta monyetnya, aku tidak lagi memusingkan masalah pertemanan dan mulai fokus pada Ujian Nasional. Selain itu, aku nyaman dengan orang-orang yang dekat denganku ditambah aku sudah berpacaran dengan seorang kakak kelas. 

Level up!!!

Satu persatu masalah mulai bangkit begitu aku beranjak dewasa. Harapanku masih sama saat memasuki dunia perkuliahan, agar lingkup pertemananku bisa lebih luas dari sebelumnya. Tambahan, setidaknya aku ingin punya teman tongkrongan seperti anak kuliahan pada umumnya. Seperti sebelumnya, semuanya berjalan terlalu mulus. Bedanya, aku mulai merasakan sedikit kecurigaan.

Mulai dari teman SMP-ku dulu. Kami masih sering bertemu, main bareng begitu masuk dunia perkuliahan. Aku dengan bangga dan senangnya memamerkan pertemananku itu di Instagram. Setiap kali kami foto, dengan cepat selalu kuungah di media sosial itu. Setiap salah seorang temanku itu berulang tahun, aku akan jadi yang pertama yang mengucapkannya. Sayangnya, aku melakukan sesuatu yang sia-sia. Hanya aku yang mengganggap pertemanan ini spesial karena mereka tidak pernah berbuat sebaliknya. Sakit hati, kuhapus semua foto mereka yang aku punya dan memutuskan untuk melupakannya. 

Selanjutnya, aku memutuskan hubunganku dengan pacarku (kakak kelasku dulu di SMA) yang sudah berjalan hampir 3 tahun. Intinya Ia telah melakukan sesuatu yang cukup fatal, sehingga aku harus memutuskannya.

Kini, begitu lulus kuliah, aku kembali dipertemukan dengan masalah yang sama TIGA kali. Aku pikir kali ini pertemananku benar-benar beda dari sebelumnya. Kali ini lagi-lagi hanya aku yang menganggap mereka spesial. Ternyata sama saja. Mereka hanya datang saat membutuhkan sesuatu.

Semua hal itu sempat membuatku jatuh. Aku cukup stress dan menangis sejadi-jadinya. Sebenarnya dimana letak kesalahannya? Kenapa aku selalu sial? Kenapa aku enggak pernah punya teman yang benar-benar sayang padaku? Aku selalu menjadi diri sendiri, apa karena itu? Selanjutnya aku hanya menyalahkan diriku sendiri.

Kalau aku bicara seperti ini mungkin aku terlihat cukup egois dan bucin semata. Tapi kehadiran Andon dan dua sahabatku saat SMA menggantikan semuanya. Walaupun aku masih sedih karena masalah itu, setidaknya aku sudah puas dengan hidupku sekarang.

Mungkin, aku akan mengharapkan hal yang sama begitu masuk ke jenjang hidup berikutnya yaitu saat aku kerja nanti. 

Atau mungkin, aku tidak perlu memikirkan itu semua.

Iya, mungkin itu lebih baik.


Komentar

Postingan Populer